Tulisan Berjalan

Hai orang-orang yang beriman, jika kamu menolong (agama) Allah, niscaya Dia akan menolongmu dan meneguhkan kedudukanmu"(QS.Muhammad:7)

Selasa, 03 Mei 2011

"Makna Dakwah Via Parlemen" bagaimanakah pendapat Qur'an dan Hadistnya??

Teori 1 : Kekuasaan itu penting, maka kita harus masuk kedalam parlemen untuk memperjuangkan syariat Islam. Ini bukan bentuk pemujaan terhadap demokrasi, tapi sekedar menjadikan demokrasi sebagai wasilah dakwah saja. Praktek : Fakta dilapangan menunjukk...an bahwa prosedur demokrasi tidak selalu mulus. Bagaimana caranya meraih kemenangan suara terbanyak ketika suara rakyat jelata yang pendidikannya rendah dan awam terhadap politik sama beratnya dengan politikus yang cerdas? Bagaimana berkompetisi dengan partai lain yang benar-benar mengandalkan keawaman massa? Demokrasi dg one-man one vote (setiap orang satu suara) memaksa pelakunya untuk menggunakan logika jumlah. Dalam waktu pendek, tidak mudah meraih jumlah pendukung yang signifikan. 

Yang termudah adalah dengan menjual sesuatu yang gampang diterima oleh massa. Kadang sesuatu itu masih dapat berupa gagasan (misalnya "sembako murah" atau citra "bersih") kadang berupa public figure seperti dai kondang, artis terkenal atau mantan pejabat yang populer dan yang paling murahan adalah sesuatu yang sifatnya fisik, seperti bantuang uang atau materi lainnya. Semua hal mudah ini jelas berakibat pada lunturnya ideologi partai. Akhirnya, partai menjadi pragmatis realistis agar bisa eksis dan berkiprah lebih luas dalam sistem demokrasi sekuler. Tidak jarang partai Islam berusaha mencitrakan dirinya sebagai partai inklusif dan demokratis dengan cara menjauhi simbol-simbol islam dan hal-hal yang berbau sektarian. Misal, mereka tidak lagi mengusung syariah dalam propaganda dan program aksi mereka. Alasannya adalah propaganda syariah Islam tidak laku dijual. Mereka lebih memilih mengangkat tema-tema kemidkinan, pemberantasan korupsi, birokrasi bersih dan tema-tema pragmatis lainnya. Dalam konteks kepartaian, mereka juga berusaha mencitrakan dirinya sebagai partai inklusif dengan cara memproklamirkan diri sebagai partai terbuka. Mereka juga tidak malu-malu bekerjasama (musyarakah) dengan partai maupun pemerintah sekuler untuk memperkuat kesan sebagai partai inklusif. Contoh : Menghadapi pemilu dan pilkada, antara partai Islam dan non-Islam, bahkan yang berbeda agama malah bisa berkoalisi hanya untuk merebut kursi baik legislatif maupun eksekutif pimpinan daerah. Awalnya menggalang dukungan untuk menolak salah satu calon presiden atau wapres bahkan berusaha mengacam keluar koalisi, entah karna apa akhirnya menerima juga. Ketika partai-partai telah menjadi partai pendukung pemerintah, tak ada lagi yang mengkritisi kebijakan penguasa, kalaupun ada terkesan setengah hati dan hanya basa basi politik. Kebijakan penguasa dianggap sudah tepat. Teriakan rakyat sampai tenggorokannya kering tidak digubris. 

Mereka takut dikatakan mencederai koalisi dan kehilangan kursi. Teori 2 : Kita tidak bisa merubah sekaligus, paling tidak kan ada sedikit-sedikit perbaikan dengan adanya kita diparlemen untuk sedikit mewarnai juga membatasi kedzaliman yang terjadi. Kalau tidak, maka siapa yang akan mengatu negara dan mengurusi semua permasalahan umat dengan syariat. Praktek : Ketika mereka telah duduk dipemerintahan, tampaklah bahwa ada 1001 persoalan bersamanya. Ada aturan-aturan yang saling menopang dan membelit yang tidak dapat dirubah satu persatu begitu saja. Kadang-kadang seorang mentri atau kepala daerah berpikir bahwa jika suatu aturan dibuat di instansinya maka dia dapat berinisiatif untuk mengubah atau bahkan mencabutnya. Namun ternyata banyak aturan yang terkait dengan peraturan lain atau bahkan terkait dengan perjanjian internasional. Contoh : Aturan bunga bank (yang sudah difatwa haram oleh MUI). Kalau suatu kepala daerah ingin membuat perda, misalnya hanya bank-bank dengan sistem syariah yang boleh beroperasi didaerahnya, pasti itu akan digugat oleh bank-bank konvensional dengan alasan persaingan usaha, dan perda tersebut pasti akan kalah saat judicial review, karena menyalahi undang-undang. Kalau mentri keuangan bersama gubernur BI akan mensyariahkan undang-undang perbankan, pasti itu akan digugat oleh IMF, bank Dunia dan WTO, sebab Indonesia mempunyai kesepakatan-kesepakatan internasional dibidang moneter dan perdagangan. Hal ini juga terjadi dalam perkara pertanahan, pertambangan, kehutanan, pendidikan, hukum pidana, hukum perdata dan sebagainya. Bayangkan, apa yang akan dilakukan anggota dewan Muslim taat jika ada perumusan undang-undang yang bertentangan dengan syariah. Yang terjadi adalah cuma menjadi pendengar atau untuk amannya walk out karena pembahasan akan mengacu pada UUD bukan syariah Islam. Mau protes? Tidak akan diterima karena memang tata aturan DPR tidak memasukkan syariah Islam sebagai bahan rujukan. 

Segala protes dari anggota dewan Muslim taat pasti tidak akan digubris karena inskonstitusional. Lalu apa gunanya berada didalam parlemen? Dalam memutuskan undang-undang parlemen selalu berdasarkan mufakat. Jika mufakat tidak bertemu, maka diadakan voting dan suara terbanyaklah yang dijadikan penentu. Kemudian undang-undang itu akan disahkan sebagai produk DPR. Dalam mekanismenya, walaupun ada perbedaan pendapat, tapi apabila sudah ditetapkan melalui suara terbanyak maka itu harus diterima sebagai keputusan bersama. Ini berarti hukum thoughut yang dihasilkan. Mau tidak mau, ikhlas tidak ikhlas harus diterima oleh anggota dewan Muslim taat walaupun sebenarnya dihati menentang. Akhirnya, lahirlah UU SDA, UU Migas, UU penanaman modal, UU BHP, UU Minerba dll yang jelas ditujukan hanya demi melayani kepentingan pengusaha/pemilik modal termasuk pihak asing, bukan untuk melayani kepentingan rakyat. Rakyat pada akhirnya hanya menjadi obyek pesakitan seraya terus memendam impian perubahan, yang entah kapan bisa terwujud. Itulah perangkap demokrasi, yang akan menelan siapa saja yang masuk kesana menjadi rusak. Walaupun ada ucapan "sesungguhnya jika kami menerima bergabung dengan penguasa, maka tidak berarti kami memberikan loyalitas kepada mereka. Akan tetapi kami akan menunjukkan loyalitas dengan metode mengalah untuk menang. Hati kami masih mengingkari apa yang mereka kerjakan". Yang benar adalah, loyalitas itu sesuatu yang dilakukan oleh anggota badan dan hati sekaligus. Apa yang dilakukan penguasa harus diingkari, tatkala menjalankan (sistem) hukum yang tidak diturunkan Allah, baik pengingkaran itu dilakukan dengan hati, lisan maupun tangan. Disini juga jelas, muslim taat yang ada diparlemen maupun dikekuasaan telah dijadikan penguasa jahiliyah ornamen hiasan pemerintah serta dijadikan batu loncatan dikeluarkannya undang-undang yang dzalim. Itu dilakukan setelah mereka memperoleh apa yang mereka inginkan. Kemudian Muslim taat tadipun disingkirkan. 

Demokrasi prosedural juga memberikan waktu yang terbatas pada siapapun yang terpilih. Para legislator dan kepala daerah umumnya hanya diberi waktu lima tahun. Setelah itu, kartu akan dikocok ulang. Waktu lima tahun tentulah bukan waktu yang cukup untuk perubahan dalam skala ideologi. Tentu tidak mudah untuk mengukir tonggak keberhasilan dalam lima tahun dan menunjukkan kepada para pemilih agar memperpanjang mandatnya. Karna tidak mudah ini, maka dalam masa lima tahun itu terjadilah politik pragmatisme, yakni mengejar kemanfaatan jangka pendek. *Bersambung, insyaAllah.. *Next, Teori 3 : tapi nanti ketika kita mempunyai kekuasaan dan menguasai parlemen karena kuantitas kita yang banyak, maka kita akan mudah merubah semuanya. Termasuk UU dsb agar berdasarkan syariat Islam, membuat kebijakan-kebijakan yang menguntungkan umat dan lain sebagainya. Sumber bacaan : Ahmad Mahmud, Dakwah Islam, thn 2009. Dr. Fahmi Amhar, jebakan-jebakan demokrasi dimuat dimedia politik dan dakwah al-wa'ie no. 97 tahun IX, 1-30 september 2008. Fathiy Syamsuddin Ramadhan An-Nawiy, Umat Butuh Parpol Islam ideologis. Dimuat di media politik dan dakwah al-wa'ie No. 120 tahun , 1-31 agustus 2010. dll.Lihat Selengkapnya
Comments
0 Comments

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Posting Komentar