Tulisan Berjalan

Hai orang-orang yang beriman, jika kamu menolong (agama) Allah, niscaya Dia akan menolongmu dan meneguhkan kedudukanmu"(QS.Muhammad:7)

Senin, 17 Maret 2014

Ngaku pengikut Syaich Hasan Albanna namun tak mau tegakkan Khilafah. apa kata dunia?? :)


Imam Hasan al-Banna pernah menyatakan:

“Sistem bekerja Ikhwamul Muslimin mempunyai tingkatan tertentu dan program yang jelas. Kami tahu apa yang kami inginkan dan cara apa yang harus ditempuh dalam mewujudkan cita-cita itu. Program-program itu ialah:

1.      Kami mendidik muslim paripurna, baik pemikiran dan aqidahnya, maupun akhlak dan amalnya.  Inilah cara pembentukan pribadi Ikhwanul Muslimin.

2.      Kami mengharapkan terbinanya sebuah rumah tangga muslim, baik dalam pemikiran, akidah, akhlak, perasaan dan tingkah laku. Oleh karena itu Ikhwanul Muslimin sangat memperhatikan kaum wanita sebagaimana kaum pria.  Ikhwanul Muslimin sangat memperhatikan kaum wanita sebagaimana kaum pria.  Ikhwanul Muslimin sangat memperhatikan perkembangan anak-anak sebagaimana terhadap pemuda. Inilah cara pembinaan keluarga Ikhwanul Muslimin.

3.      Kemudian kami mengharapkan terbinanya suatu masyarakat muslimin dalam segala aspek kehidupan.  Maka Ikhwanul Muslimin berusaha agar dakwahnya dapat dilancarkan ke semua rumah, dan dapat di dengar di semua tempat.  Ikhwanul Muslimin berusaha agar gagasannya mudah berkembang sampai ke desa-desa dan kota-kota, dengan mempersiapkan tenaga dan sarananya.

4.      Seterusnya kami bercita-cita membangun suatu pemerintahan muslimin yang membina masyarakatnya ke masjid, yang sesuai dengan petunjuk Islam, sebagaimana yang telah dilaksanakan oleh para sahabat Rasulullah saw. Abu Bakar Shiddik dan Umar bin Khattab ra. Kami tidak membenarkan setiap sistem pemerintahan yang tidak berdasarkan prinsip Islam. Ikhwanul Muslimin tidak membenarkan sistem partai politik dan segala bentuk tradisional yang dipaksakan. Ikhwanul Muslimin akan berusaha menghidupkan sistem pemerintahan Islam dengan segala aspeknya. Dan akan membentuk pemerintahan Islam atas dasar sistem itu….”

Nasionalisme

Tentang nasionalisme, Imam besar Ikhwanul Muslimin ini menyatakan : “Jika nasionalisme yang mereka maksud adalah keharusan bekerja serius untuk membebaskan tanah air dari penjajah, mengupayakan kemerdekannya, serta menanamkan makna kehormatan dan kebebasan dalam jiwa putra-putranya, maka kami bersama mereka dalam hal itu.

Jika nasionalisme yang mereka maksud adalah memperkuat ikatan antar anggota masyarakat di satu wilayah dan membimbing mereka menemukan cara pemanfaatan kokohnya ikatan untuk kepentingan bersama, maka kami juga sepakat dengan mereka.  Karena Islam menganggap itu sebagai kewajiban yang tidak dapat ditawar. Nabi saw bersabda: “Dan jadilah kamu hamba-hamba Allah yang bersaudara….”

Kemudian ia melanjutkan:

“Sesungguhnya Islam tegas-tegas mewajibkan, hingga tidak ada jalan untuk menghindar, bahwa setiap orang harus bekerja untuk kebaikan negaranya, memberi pelayanan maksimal untuknya, mempersembahkan kebaikan yang mampu dilakukan untuk umatnya dan melakukan semua itu dengan cara melakukan semua itu dengan cara mendahulukan yang terdekat, kemudian yang dekat, baik famili maupun tetangga.  Sampai-sampai Islam tidak membolehkan memindah pembagian zakat kepada orang yang jaraknya melebihi jarak dibolehkannya mengqasar shalat kecuali dalam keadaan darurat.  Hal ini untuk lebih mengutamakan kerabat dekat dalam berbuat kebaikan.”

Menurut al Banna, Ikhwan berkeyakinan bahwa khilafah adalah lambang kesatuan Islam dan bukti adanya keterikatan bangsa Muslim.  Ia merupakan identitas Islam yang wajib dipikirkan dan diperhatikan oleh kaum Muslimin. Khalifah adalah tempat rujukan bagi pemberlakuan sebagian besar hukum dalam agama Allah.  Oleh karena itu, para sahabat lebih mendahulukan penanganannya daripada mengurus dan memakamkan jenazah Nabi saw sampai mereka benar-benar menyelesaikan tugas tersebut (memilih khalifah).

Hadits yang menyebutkan kewajiban mengangkat imam, penjelasan tentang hukum-hukum kepemimpinan, dan perincian segala sesuatu yang terkait dengannya menegaskan bahwa di antara kewajiban kaum muslimin ialah serius memikirkan masalah khilafah, sejak ia diubah manhajnya sampai kemudian dihapuskan sama sekali hingga sekarang.

Langkah untuk mengembalikan eksistensi khilafah, menurut lelaki yang hebat ini, harus didahului oleh langkah-langkah berikut:

1.  Harus ada kerjasama yang sempurna antara bangsa-bangsa muslim menyangkut masalah wawasan, sosial, dan ekonomi

2.  Setelah itu membentuk persekutuan dan koalisi, serta menyelenggarakan berbagai pertemuan dan muktamar di antara negara-negara tersebut.  Sungguh muktamar parlemen Islam untuk membahas masalah Palestina di London yang mengundang kerajaan-kerajaan Islam untuk menyerukan pengembalian hak-hak bangsa Arab di bumi Palestina yang diberkahi adalah pertanda baik dan langkah maju dalam hal ini.

3. Setelah itu membentuk Persekutuan Bangsa-bangsa Muslim. Jika hal itu bisa diwujudkan dengan sempurna, akan dihasilkan sebuah kesepakatan untuk mengangkat imam yang satu, dimana ia merupakan penengah, pemersatu, penentram hati, dan naungan Allah di muka bumi.

Beratnya tugas ‘mengislamkan negeri-negeri Islam’, ini dirasakan oleh Hasan al Banna. Ia menyatakan : “Sebaliknya, kami meyakini bahwa di leher setiap Muslim tergantung amanah, dimana ia wajib mengorbankan jiwa, darah dan harta untuk menunaikannya. Amanah tersebut ialah membimbing manusia dengan cahaya Islam dan mengibarkan bendera Islam di seluruh bumi. Semuanya dilakukan bukan untuk mencari harta, popularitas, kekuasaan atas orang lain dan bukan pula untuk memperbudak bangsa lain. Tetapi untuk mencari ridha Allah semata, membahagiakan alam dengan agama-Nya dan meninggikan kalimat-Nya. Inilah yang mendorong kaum ‘Salaf Salih’ –semoga Allah meridhai mereka semua- untuk melakukan pembebasan-pembebasan suci yang telah mencengangkan dunia dan mengungguli berbagai pembebasan yang pernah dikenal sejarah, dalam hal kecepatan, keadilan, kepiawaian dan keutamaan.” (Majmu’atur Rasail – Kumpulan Risalah Dakwah Hasan al Banna, Al I’tishom Cahaya Umat, hlm. 37-38).*

Penulis adalah peneliti Insitute for the Study of Islamic Thought and Civilizations (INSISTS)
Comments
0 Comments

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Posting Komentar